Menyisir Kehidupan di Kampung Pulo di Tepian Ciliwung

tv1one

Sore itu, Selasa (10/8), belasan anak-anak SD bermain balap mobil Tamia di atas sebidang lahan bongkaran rumah. ”Jaringan jalannya disediakan pemilik warung, sedangkan mainan mobilnya milik anak-anak,” kata Ketua RT 11 RW 2 Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, Asep Suhendar (53). Yang boleh menggunakan jaringan jalan Tamia cuma anak-anak yang membeli sesuatu di warung pemilik jaringan jalan itu. Begitulah pemilik warung menarik pembelinya.

Rumah Asep berada di sebelah lahan tempat anak-anak bermain Tamia di tepi Kali Ciliwung. Di sebelah rumah, terdapat pabrik tahu yang berdiri sebelum tahun 1949, warisan kakek Asep.

”Saat saya kecil, kayu bakar dan bambu-bambu untuk berbagai kebutuhan pabrik tahu kami diangkut dengan rakit-rakit di Kali Ciliwung. Kala itu kedalaman kali masih 7 meter. Airnya masih jernih dan layak untuk memasak makanan. Sekarang dalamnya tak sampai 3 meter dan sudah tak layak minum lagi,” tutur Asep sambil berdiri memandangi aliran Kali Ciliwung dari dapur pabrik tahunya.

Semasa kakeknya, kedelai bahan tahu digiling dengan batu besar. Di era ayahnya, di tahun 1970-an, penggilingan kedelai memanfaatkan diesel dan pada tahun 1980-an, gilingan kedelai diganti dengan batu gerinda. Pabrik tahu pun maju pesat.

”Sehari, pabrik ini menghabiskan lebih dari 500 kilogram kedelai. Setiap pekan, datang truk besar menurunkan karungan kedelai di depan Gang Sumur Bor di tepi Jalan Jatinegara Barat,” ujar Asep.

Kini, pabrik tahu yang ia kelola hanya mampu menghabiskan 50 kilogram kedelai.

”Pesaingnya banyak. Selain itu, Kampung Pulo makin sering dilanda banjir. Kalau tahun 1970-an banjir hanya setahun sekali dan berlangsung satu-dua hari, sekarang hampir tiap bulan tempat kami tergenang air. Pabrik jadi sering libur. Alat-alat terendam, listrik padam. Para pedagang beralih ke pabrik tahu lainnya,” ucap ayah empat anak yang menjadi ketua RT sejak tahun 1984 itu.

Siklus internal

Menurut Asep, sejak pemerintahan Presiden Soeharto hingga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau sejak Jakarta dipimpin sejumlah gubernur hingga Gubernur Fauzi Bowo, Kampung Pulo terabaikan. Artinya, tak tersentuh pembangunan.

”Yang saya ingat, cuma Gubernur Surjadi Sudirdja yang datang masuk ke Kampung Pulo. Yang lain cuma sampai tepi Jalan Jatinegara Barat. Pasang tenda dan membuat panggung di sana saja. Sama halnya dengan partai-partai yang membuat tenda musiman di tepi jalan itu saat banjir datang,” ungkap Asep.

Ia mengatakan, kampungnya tak pernah tersentuh proyek jalan kampung Moehammad Hoesni Thamrin. ”Paling-paling cuma dapat cangkul, sapu lidi, sama gerobak celeng setiap tahun. Ada juga bantuan kamar mandi umum di era Presiden Soeharto,” ujarnya.

Yang peduli terhadap Kampung Pulo, kata Asep, justru lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari negara lain. Tahun 2001, sebuah LSM asal AS membangun tanggul di tepian Kali Ciliwung dan dua tahun lalu, LSM asal Prancis membuat tiang-tiang pelampung di sepanjang jalan kampung.

”Pelampung-pelampungnya kami lepas karena justru mempersulit warga meniti tali penyelamat saat banjir datang,” tutur Asep.

Meski terabaikan, warga tetap mandiri. Resepnya? Mereka membangun siklus ekonomi internal. Sebagian mendapatkan uang dari luar dan di putar di dalam kampung atau mendapatkan uang dari dan untuk kampung.

Contoh, mereka yang bekerja sebagai pegawai atau pedagang di luar kampung akan membelanjakan penghasilannya di Kampung Pulo atau mereka memproduksi barang dan jasa serta menjualnya di kampung dan membeli produk barang dan jasa lainnya hasil warga kampung.

Warga di sana bekerja sebagai penjual pakaian dan pedagang daging di Pasar Jatinegara, penjual gado-gado, arum manis, cincau, serta makanan gorengan. Sejak dua tahun lalu, warga membangun kolam pemancingan lele dan pemancingan ikan mas di tepi Kali Ciliwung.

Pemancingan ikan mas ada di RT 14 RW 2, sedangkan pemancingan ikan lele ada di RT 15 RW 2. Menurut Irfan (34), Kepala Seksi Kesejahteraan RW 2, setiap hari, pemancingan ikan lele menghabiskan 30 kilogram lele yang dibeli dari Parung. Pemancingan ikan mas menghabiskan 20 kilogram ikan mas yang dibawa dari Pasar Minggu.

Umumnya, memasuki bulan suci Ramadhan, kolam pemancingan ramai seperti tampak pada Rabu kemarin. ”Dengan usaha ini, kami ingin pendapatan warga masuk kembali ke kampung. Dengan demikian, kami bisa meningkatkan ketahanan ekonomi kami,” ucap Irfan sambil berjalan meninggalkan kolam pemancingan.

Asep menambahkan, di era kepemimpinan Presiden Soeharto, pemerintah masih memberi bimbingan bagi para pengusaha kecil dan memediasi pertemuan di antara produsen. Meski demikian, warga tidak menyesal. ”Justru karena kami merasa ditinggalkan, kami secara ekonomi harus mandiri,” tutur Asep.

Diikat bencana

Meski usahanya terus merosot, Asep tak pernah berpikir pindah dari Kampung Pulo. Bukan hanya karena Kampung Pulo adalah tanah kelahirannya, melainkan karena semangat kegotongroyongan warganya.

”Waktu saya kecil, kampung ini cuma kompak kalau lagi berantem. Lawannya warga pecinan Kampung Banten, Jatinegara, yang terletak di seberang jalan. Tetapi, kian hari, semangat kegotongroyongan warga tumbuh karena bencana banjir,” aku Asep.

Ketua RT 14 RW 3 Yayang (46) membenarkan. Menurut pria yang juga lahir di Kampung Pulo ini, gara-gara kampungnya menjadi daerah langganan banjir, warga saling mengenal baik satu sama lain, bahkan saling menikah dan beranak-pinak seperti dirinya.

”Kalau soal banjirnya sendiri enggak masalah lagi. Masing-masing ketua RW, ketua RT, sampai anak-anak sudah tahu apa yang harus mereka lakukan menjelang air datang dari Bogor atau Depok. Kalau dari Bogor delapan jam sebelum masuk Kampung Pulo, kalau dari Depok enam jam,” kata Yayang di atas perahu eretan yang dikemudikan Ajis (40), warga RT 11 RW 2, asal Bumiayu, Brebes Selatan, Jawa Tengah.

Yayang hafal benar kapan banjir itu datang. ”Paling sering sekitar Lebaran Haji. Pernah pas Lebaran tiba, yaitu tahun 1991. Kampung ramai setelah shalat id, saat air surut,” ujar Yayang.

Karena banjir, lanjut Yayang, warga menjadi sadar akan kebutuhan listrik. Sebab, saat banjir datang, listrik padam. Itu sebabnya sebagian RT dan RW di Kampung Pulo memiliki mesin genset yang mereka beli lewat arisan atau iuran warga.

Mesin ini selain berguna untuk penerangan, juga berguna untuk menyemprot air, baik untuk membersihkan rumah dari lumpur banjir maupun memadamkan kebakaran. Dari mesin genset, iuran warga pun berkembang ke iuran lainnya, seperti iuran untuk pengobatan dan pemakaman.

”Hubungan antara pendatang dan mereka yang lahir dan tumbuh di Kampung Pulo tak lagi berbatas karena banjir. Bakal beda ceritanya kalau banjir tidak lagi datang ke Kampung Pulo,” kata Yayang, ayah enam anak. Karena banjir, kegiatan sosial dan keagamaan berkembang sehat di halaman-halaman mesjid.

Ajis pun sependapat. Menurut ayah satu anak yang menarik perahu eretan di situ sejak tahun 1987, hidup di Kampung Pulo relatif murah, aman, dan akrab.

”Saat saya mulai menarik perahu eretan, saya kaget saat banjir datang ke sini. Perahu saya hampir tenggelam. Eh, ternyata justru banjir inilah yang membuat warga kompak sampai saya kerasan hidup di sini,” tutur Ajis.

Ajis mengaku, sebelum menarik perahu eretan di situ, ia menjadi pekerja pada juragan perahu eretan di Pesing, Jakarta Barat. Setelah lima bulan bekerja, ia melihat peluang bekerja di Kampung Pulo. Bermodal uang Rp 5 juta, ia membuat perahu eretan dan mulai bekerja menarik perahu. ”Sekarang saya sudah paham perilaku banjir di sini. Banjir paling besar terjadi tahun 2007,” tutur Ajis.

Selain dua kolam pemancingan dan arena bermain anak-anak Tamia, di Kampung Pulo juga terdapat sejumlah lapangan badminton. Ruang-ruang rekreasi ini ikut mewarnai kegiatan kesenian dan ibadah di mesjid. Di luar, jalanan kampung ramai oleh kegembiraan anak-anak yang bermain. Ramadhan pun mengalir tenang di tepian Kali Ciliwung

Kompas


Share/Bookmark
41772-07
 
tv1one tv1one-Online.
Simplicity Edited by Ipiet's Template